Minggu, 03 Mei 2020

SMK; Kontradiksi Tiga Pihak



Sebuah media online menulis judul berita, "Miris! Tingkat Pengangguran Terbuka Lulusan SMK Paling Tinggi". Di dalamnya ditulis pula bahwa BPS merilis angka TPT lulusan SMK pada bulan Agustus 2019 berada di 10,42 %. Mengapa miris? Karena SMK didesain untuk menciptakan lulusan yang siap masuk kerja dengan kemampuan teknis yang mereka miliki.

Pada berita itu di dalamnya mengandung sebuah kontradiksi antara harapan dan kenyataan. Pada benak pembaca berita yang kritis tentu akan muncul beberapa pertanyaan. Apa yang salah dengan SMK? Mengapa hal itu terjadi? Siapa yang terlibat dan harus bertanggung jawab atas bencana tersebut? Bagaimana cara mengatasinya?

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 20 Tahun 2003 pasal 15 menyebutkan bahwa “Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus”. 

Pada penjelasan pasal tersebut diungkapkan bahwa pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Dengan kata lain bahwa tujuan SMK adalah menyiapkan peserta didik sebagai tenaga kerja tingkat menengah yang terampil, terdidik, dan profesional serta mampu mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada penyelenggaraannya, SMK tidak bisa melepaskan diri dari keterlibatan tiga pihak atau lebih dikenal dengan tripartit. Ketiga pihak yang dimaksud adalah pemerintah, sekolah, dan industri. 

Pemerintah, melalui Direktorat PSMK selama ini telah dan terus berupaya untuk melakukan berbagai upaya peningkatan mutu lulusan SMK. Di antaranya, dengan program SMK Rujukan, program SMK Berbasis Industri, program Keunggulan Wilayah, dll. Bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Ketenagakerjaan menggulirkan Program Link and Match. bermitra dengan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) menghimbau agar seluruh SMK di Indonesia memiliki LSP-P1. Harapannya agar seluruh lulusan SMK memiliki Sertifikat Kompetensi yang dikeluarkan BNSP dan berlogo garuda. Segenap upaya tersebut akan kurang bermakna ketika pihak industri sebagai pengguna lulusan SMK tidak bersinergi dengan pemerintah. Melalui regulasi yang ditetapkan oleh APINDO, seharusnya industri hanya  merekrut tenaga kerja yang bersertifikat kompetensi, terlebih sertifikat kompetensi dari BNSP.

Sementara itu, pihak SMK di tanah air banyak yang bermasalah. SMK dengan beragam kondisinya terus bertambah, hingga saat ini sudah berjumlah 14.219 sekolah. Jumlah SMK negeri hanya 3.651 sekolah dan SMK swasta sebanyak 10.568 sekolah serta 4000 di antaranya adalah SMK swasta yang bermasalah. Beberapa masalah yang dihadapi SMK swasta antara lain, jumlah siswa minim, sarpras tidak memadai, ketidaktersediaan guru produktif, dan manajemen penyelenggaraan dan pengelolaan sekolah yang rendah.

Dengan demikian, pantaslah kiranya jika lulusan SMK menjadi penyumbang pengangguran terbesar di tanah air. Pemerintah yang memiliki konsep dan harapan serta upaya agar melalui SMK, rakyat Indonesia tidak menganggur dan memiliki penghasilan tidak didukung oleh dua pihak lainnya yaitu industri dan sekolah. Industri dengan konsep ekonomis yang mempekerjakan tenaga kerja di bawah standar kompetensi dan kualifikasi agar bisa dibayar murah. Sementara sekolah SMK banyak yang asal jalan dengan mengabaikan 8 Standar Nasional Pendidikan. Apatah lagi SMK yang berpedoman pada Permendikbud RI Nomor 34 Tahun 2018 Tentang Standar Nasional Pendidikan SMK /MAK. Oleh karena itu, yang harus dilakukan untuk mengantisipasi persoalan tingginya angka TPT lulusan SMK adalah, ketiga pihak yaitu pemerintah, sekolah SMK, dan industri harus bersinergi. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar